MEMANGKAS KURUN ALTRISIALITAS

•Agustus 26, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar

MEMANGKAS KURUN ALTRISIALITAS[1]

Oleh Sakban Rosidi[2]

Mengantisipasi ancangan kebijakan baru bagi perguruan tinggi, IKIP Surabaya menggelar Seminar Regional Kuliah Kerja Usaha (KKU). Tak kurang dari lima pembicara pun dihadirkan (Surabaya Post, 15 Juli 1997).

Sebagai pengamat pendidikan, Dr Susanto MPd berharap KKU tak disikapi sebagai beban, tetapi sebagai tantangan. Dari perspektif filosofis, Pudjo Rahardjo mengatakan, “KKU ini sebagai praktek nyata pendidikan luar sekolah dengan konsep long-life education” (sic!).

Merujuk penjelasan UU Sisdiknas, “Warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan pada tahap mana pun dalam perjalanan hidupnya — pendidikan seumur hidup –, meskipun sebagai anggota masyarakat ia tidak diharapkan untuk terus-menerus belajar tanpa mengabdikan kemampuan yang diperolehnya untuk kepentingan masyarakat”.

Sebagai kebijakan nasional tentu tak cukup bila pembenaran hanya diturunkan dari kerangka pikir normatif. Pun kurang memadai bila kelayakannya hanya dilihat dari aspek teknis operasional. Jadi, harus ditelaah, mengapa secara empiris kebijakan itu dianggap perlu dan mendesak? Kendala struktural apa yang secara dini harus dicermati?

Altrisialitas

“Man is altricial animal”, kata Scot Gordon (1991). Meminjam konsep ilmu keunggasan (ornithology) itu, altrisialitas menunjuk pada fakta, “…the newly hatched young are unable to fend for themselves and must be nurtured by adults for some time, and taught many things before they are able to function on their own”.

Seperti itu pula, ketika lahir manusia tak mampu melindungi diri sendiri. Selama waktu tertentu, mereka harus membutuhkan, dan bahkan bergantung kepada orangtuanya. Karena keniscayaan altrisialitas itu pula, manusia bisa dan harus dididik menuju kedewasaan.

Namun, berbeda dari binatang, ternyata kurun kebergantungan manusia teramat panjang. Betapa tidak? Untuk kematangan fisik, manusia membutuhkan tak kurang darilimatahun. Sedangkan daya reproduksi, baru tercapai pada usia sekitar duabelas tahun atau lebih.

Kendati beberapa kegiatan telah diperankan selama masa kanak-kanak dan remaja, tak berarti mereka sudah mandiri. Lazimnya, kemandirian manusia baru tercapai ketika mereka sudah matang secara fisik dan psikologis, bermata-pencaharian, dan membentuk keluarga sendiri.

Sesuai takrif pendidikan, secara sadar kurun kebergantungan harus dimanfaatkan untuk menyiapkan diri bagi peranannya di masa depan. Tak pelak lagi, pranata keluarga dan sekolah mengemban fungsi pemasyarakatan dan pembudayaan (socialization and enculturation) bagi para muda.

Kurun altrisialitas ekonomi manusia paling panjang. Bila rata-rata penduduk mulai bekerja setelah lulus SLTA, misalnya, maka kurun altrisialitas ekonomi mereka tak kurang dari 20 tahun. Pun bila seseorang baru bekerja setelah lulus sarjana, kurun altrisialitasnya bertambah lagi sekitar 4 tahun.

Bahkan, meminjam ungkapan Gordon (1991), “…economics dependence may last to the age of thirty or longer, if the individual aims at a professional career that requires many years of schooling and training”.

Tampaknya, kemajuan jaman tak memperpendek, tetapi justru memperpanjang masa kebergantungan ekonomi anak manusia. Karena itu, setiap analisis pendidikan sebagai investasi sumberdaya manusia perlu memasukkan memasukkan ubahan waktu sebagai salah satu faktor pentingnya. Tentu saja, beban masyarakat pun tambah berat bila tenggang waktu antara kelulusan dengan bekerja makin panjang.

Fungsi Laten

Pendidikan memiliki aneka fungsi sosial (social function). Sebagai akibat objektif yang dapat diamati (Merton, 1965), ragam fungsi itu bisa dipilah menjadi fungsi manifes berupa akibat-akibat diketahui (recognized) dan disengaja (intended), dan fungsi laten berupa akibat-akibat tak diketahui (unrecognized) dan tak disengaja (unintended).

Zanden (1990) menyimpulkan, secara laten persekolahan mengakibatkan tolok-ukur pekerjaan jadi tak realistik (unrealistic occupational standards), dan pasokan lulusan perguruan tinggi jadi berlebih (oversupply of college graduates). Karena secara empiris juga berarti menunda pengangguran, maka ia kuliah pun berfungsi memperpanjang kurun kebergantungan (prolonged human’s altriciality).

Lebih memprihatinkan, ada gejala makin tinggi tingkat pendidikan makin sulit memperoleh pekerjaan. Dari 77.181 pencari kerja di Kabupaten dan Kotamadya Malang (1993), misalnya, 41.716 orang di antaranya justru berpendidikan di atas SLTA.

Tanpa disadari, ternyata pendidikan tinggi berfungsi laten memperpanjang barisan panjang pencari kerja (long job queuing). Boleh jadi, gejala ini pula yang oleh Sanderson (1993) disebut masyarakat kelebihan-pendidikan (over-educated society).

Kendala Struktural

Secara sosiologis, paling tidak ada tiga masalah struktural dan kultural yang harus diantisipasi dalam pelaksanaan KKU. Pertama, dari sindiran Indonesia Negara Pegawai (Brower, 1983), tak mustahil suatu golongan tertentu memberi warna kepada masyarakat dan cita-cita generasi muda.

Antrian panjang pencari kerja sarjana mencerminkan betapa masyarakat terlalu menghargai pekerjaan sebagai pegawai negeri, atau paling tidak pegawai swasta. Jadi, kendati boleh jadi KKU berhasil membangkitkan semangat kewirausahaan mahasiswa, tak berarti masyarakat siap menghargai jenis pekerjaan itu.

Kedua, meski sebentar, konon masa penjajahan Jepang meninggalkan budaya upacara (Nordolt, 1987). Karena itu, pusat perhatian, dan bahkan alokasi sumberdaya, cenderung diberikan kepada upacara-upacara. Sedangkan pelaksanaannya, terjebak dalam budaya kerja rutinisme. Tak heran bila sekarang ini, aneka program pengabdian kepada masyarakat universitas telah menjadi sekedar upacara dan merutin tanpa greget.

Ketiga, tak terkecuali KKU, setiap kegiatan berpotensi menghasilkan aneka fungsi laten. Masalahnya, tak semua fungsi laten bersifat positif. Program KKN, misalnya, mengakibatkan masyarakat desa makin “pintar”. Buktinya, sepengetahuan elit desa, mereka berani mematok harga sewa kamar dan makan yang anehnya lebih tinggi ketimbang harga dikota.

Fungsi laten apakah yang bisa ditimbulkan oleh KKU? Meski tak mudah untuk menjawabnya, jelas bahwa kecenderungan kita untuk berorientasi pada proyek juga berpotensi menciptakan bentuk ketergantungan baru kepada pemerintah. Atau, kalau memungkinkan, menciptakan peluang “rejeki” baru bagi orang-orang tertentu.

Tak diragukan lagi, sebagai upaya memangkas kurun altrisialitas yang makin panjang, ancangan KKU telah memperoleh pembenaran empiris dan normatif. Hanya, sebagus apa pun kebijakan, keberhasilannya juga bergantung pada pemenuhan sejumlah prasyarat struktural dan syarat fungsional. Celakanya, acapkali prasyarat dan syarat itu justru tersingkir oleh pesona cita-cita dan buram pragmatika.


[1] Artikel analitik dimuat Harian Surabaya Post, 29 Juli 1997, halaman 6.

[2] Penulis adalah Sarjana Pendidikan dan Magister Sosiologi, tinggal di Malang, Jawa Timur.

ALL THE WORLD’S NOT SIMPLY A STAGE

•Agustus 25, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar

Sakban Rosidi, All the World’s not Simply a Stage

ALL THE WORLD’S NOT SIMPLY A STAGE:

 The Poverty of Dramaturgical Approach ini Sociological Inquiry

Sakban Rosidi[1]

 

Historians of modern thought categorize the 17th century as the age of reasons. Stuart Hampshire (1957) gave an important note that in the ages of reason, philosophers began to explain natural processes in mathematical terms. They also developed vital concepts of knowledge and certainty, appearance and reality, freedom and necessity, mind and matter, deduction and experiment.

This century was the great formative era of modern thought, marked by the decline of medieval conceptions of knowledge, the rise of the physical sciences and the gradual transition from Latin to French and English as instruments of philosophical thought. There were such great 17th century philosophers as Francis Bacon (1561-1626), Rene Descartes (1569-1650), and Galileo Galilei (1564-1542). The more interesting is the fact that there was also a giant of English and world literature, William Shakespeare (1564-1616).

Though Shakespeare was not a philosopher or scientist, through his drama and poetry, it seems clear that he gave a significant influence to the philosopher’s worldview of that time. “De omnibus dubitandum”, Descartes asserted that thinking is but to doubt everything. On the principles of human knowledge, he argued, first, that in order to seek truth, it is necessary once in the course of our life to doubt, as far as possible, of all things. Second, that we ought also to consider as false all that is doubtful (Descartes, 1975: 165).

At the same age, Shakespeare wrote and performed his “The Tragedy of Hamlet, Prince of Denmark”, where Hamlet persuaded Ophelia with his letter.

 

To the celestial and my soul’s idol,

The most beautified Ophelia,

In her excellent white bosom, these.

Doubt thou the stars are fire

Doubt that the sun doth move

Doubt truth to be a liar

But never doubt I love

O dear Ophelia,

I am ill at these numbers

I have not art to reckon my groans

But that I love thee best,

O most best, believe it, Adieu.

Thine evermore, most dear lady,

Whilst this machine to him.

(Shakespeare, The Tragedy of Hamlet, Prince ofDenmark, Act II, Scene II).

Shakespeare’s Hamlet, therefore, reminds us to the Cartesian skepticism. Moreover, Shakespeare was also affected by the ideas of philosophers of his time. Shakespeare’s influences across time until the emerging of Marx (1818-1903), who wrote his manuscript on philosophy of money as his interpretation to a part of Shakespeare’s “Timon of Athens”.

Shakespeare emphasizes particularly two properties of money: (1) it is the visible deity, the transformation of all human and natural qualities into their opposites, the universal confusion and inversion of things; it brings incompatibles intro fraternity, (2) it is the universal whore, the universal pander between men and nations (Marx, 1963: 192).

This article, however, concerns with only the influences of Shakespeare’s ideas, especially to the conception of human’s social role. Although in epistemological perspective, this topic will implicate the controversy between narrative realism versus narrative constructionism (Fay, 1998), the focus will be paid on theoretical perspective, the debate between structural-determinism against total-subjectivism (Merton, 1976).

The idea of social role in sociological inquiry has repeatedly been described in theatrical terms. “All the world’s stage”, said Jacques. The world is stage analogy valid? Does our society make us what we are?

 

A. All the World’s Stage

Extracted from five acts, the most inspiring message of “As You Like It” can be found in Act II, Scene 7. Here, Shakespeare puts into Jaques’s mouth a speech that eminently anticipates the nature and potential of the category of social role, and thus illuminates many feature of the sociological concept of role.

All the world’s stage

And all the men and women merely players.

They have their exits and their entrances.

And one man in his time plays many parts.

His acts being seven ages.

At first the infant,

mewling and puking in the nurse’s arms.

And then the whining school-boy, with his satchel,

and shining morning face, creeping like snail,

unwillingly to school.

And then the lover,

sighing like furnace, with a woful ballad,

made to his mistress’ eyebrow.

Then a soldier,

Full of strange oaths, and bearded like the pard,

jealous in honour, sudden and quick in quarrel

seeking the bubble reputation

even in the cannon’s mouth.

And then the justice,

in fair round belly with good capon lin’d

with eyes severe, and beard of formal cut

full of wise saws and modern instances.

And so he plays his part.

The sixth age shifts into the lean and slipper’d pantaloon,

with spectacles on nose and pouch on side,

his youthful hose well say’d a world too wide,

for his shrunk shrank, and his big manly voice

turning again toward childish treble, pipes

and whistles in his sound.

Last scene of all,

that ends his strange eventful history,

is second childishness a mere oblivion

sans teeth, sans eyes, sans taste, sans everything.

(Shakespeare, “As You Like It”, Act II, Scene 7).

 

Shakespeare’s main concern here is with age roles, which are only one class of social roles, but the speech at least hints at occupational and other roles (Dahrendorf, 1978). The world is a stage, which players enters and leaves. However, each player makes more than one appearance, and every one in a different mask. The same player enters the stage as a child and leaves it to return as a young man, a grown man, and an old man. Only when he dies does he have his last exit; but by then new and different players are on the stage playing “his” parts.

Today, Shakespeare’s metaphor has become the central principle of the science of society. From the sociological point of view, the idea that relates the individual meaningfully to society is the idea of the individual as a bearer of socially predetermined attributes and modes of behavior. Galang Siahaan, for example, as a schoolboy, with a satchel and a shinning morning face, creeps unwillingly to school. As a lover, he sighs and sings a ballad to his beloved. As a soldier, he wears a beard, curses, is quarrelsome and jealous of his honor. As a judge, he dresses carefully and is full of wise saws.

Schoolboy, lover, soldier, judge, and oldman, are in a strange way both this particular individual, Galang Siahaan, and something that can be separated from him and spoken of without reference to him. Although Shakespeare’s judge may no longer be appropriate for the stage of our time, we too can say what a judge is like, whether his name is Galang Siahaan or Gagar Siregar. In our time as in Shakespeare’s, it is the vexatious fact of society that wrests the individual out of his individuality and defines his being by the alien categories of the world outside himself.

The fact of society is vexatious because we cannot escape from it. There may be lovers who neither sigh nor make a woeful ballad to their mistress eyebrows, but such lovers do not play their role. In the language of modern sociology, they are deviants. For every position a person can occupy, society has defined certain personal qualities and modes of behavior as acceptable.

The incumbent of such a position must decide whether or not to behave as society says he must. If he yields to society’s demands, he abandons his virgin individuality but gains society’s approval. If he resists society’s demands, he may preserve an abstract and bootless independence, but only at the expense of incurring society’s wrath and painful sanctions.

B. The Validity of the Stage Analogy

In Erving Goffman’s (1969) dramaturgical approach, social life is depicted as theater. People are seen as actors stage-managing their conduct to control the attitudes and responses of others toward them. Impression management is used to create a favorable evaluation of ourselves in the minds of others. In other words, dramaturgical approach is a sociological perspective that views the performances staged in a theater as an analytical analogy and tool for depicting social life (Zanden, 1990: 90).

Think about impression management as a beginning college student. Most students come to college are concerned about their acceptance by the strangers they are to meet. Consequently, decisions are made, consciously or not, about how students want others to view them. Choices in clothing are made. Some students wear blue jeans and T-shirts, while others choose a preppie look.

Performances, continues Goffman (1969) with his analogy, may have a front and back stage. College students may behave one way with dates and let down when alone with members of the same sex. Students may behave as expected when with their parents or teachers. They only tell their closed friends what they really think later. Behavior changes as it is managed in various setting.

Goffman’s (1969) life’s work was devoted to the distinction between culturally prescribed roles and the fulfillment of those roles. Role behavior is the actual conduct involved in activating a role. Although some role behavior can occur in isolation, as when a student study alone for an examination, most of it involves social interaction. Social interaction exists when two or more persons mutually influence each other’s behavior.

Not all social interaction is role behavior. When patients are told to disrobe for a medical examination, they are not supposed to take this as a cue from the doctor for sexual activity, nor should doctors expect his instruction to evoke sexual cues from their patients. If sexual episodes occur, they are violations of expected role behavior.

If statuses are analogous to the parts of a play and roles the script of a play, then social interaction is similar to the give-and-take of cues in a performance, and role behavior is the actual performance. Again, in language of modern sociology, they are deviants.

Although the stage analogy is a valid one, there is a danger in taking analogies at face value. The two situations being compared are seldom exactly the same. The analogy between the stage and societal life is no exception. This stage analogy can be useful, but insight can also be gained by looking at the differences between societal life and the theater (Sephard, 1987).

First, delivery of the lines in real life is not the conscious process that we see in performers on the stage. Most role behavior occurs without much forethought. We usually act in ways that seem to be natural and correct. In fact, these natural and correct ways have been unconsciously adopted through observation, imitation, and the efforts of others to pass them along.

Second, there is considerably more of a discrepancy between roles and role behavior in societal life than between a stage script and its performance. Performers may substitute lines for momentarily forgotten ones, deliberately change lines to suit themselves, and introduce a little business here and there, but they must stick closely to the script. Differences between a role and role behavior in real life are neither as easy to detect nor as easy to control as departures from a script.

Third, on the stage there is a programmed and predictable relationship between cues and responses. One performer’s line is a cue for a very specific response from another actor. In a real life, we can choose from a variety of cues and responses. A student may decide to tell a lecturer that his examinations are the worst he has ever encountered. On hearing this, the lecturer may tell the student that it is not his place to judge or ask him to explain further so that some improvement can be made. The lecturer can choose from several roles. Moreover, the student can choose from a variety of responses to the lecturer’s behavior.

It should not be assumed that the range of acceptable responses is limitless. Only certain responses are considered legitimate. It is not an appropriate response for the lecturer to eject bodily the student from his office, and the student is not supposed to pound in protest on the lecturer’s desk.

C. Concluding Comment

It is understandable that the idea of social role has repeatedly been described in theatrical terms. What could be more plausible than an analogy between prescribed behavioral patterns for actors in given parts and socially defined behavior norms for persons in given positions?

Such an analogy may be poor and misleading. Whereas the unreality of events is assumed in the theater, it cannot be assumed with respect to society. Despite the theatrical connotations of role, it would be wrong to see the role-playing social personality as an unreal person who has merely to drop his mask to appear as his true self. The characterization of man as a homo sociologicus is more than a metaphor. His roles are more than masks that can be cast off; his social behavior is more than a play from which audience and actors alike can return to the true reality.

Does our society make us what we are? The answer to this depends in part, on how “society” and “make” are defined. Holists answer this question affirmatively by conceiving of society as things which determine their members rather like the way dies stamp out metal products (Fay, 1998). We, however, are not mere reflections of the society to which we belong. No cultural entity is so fixed, closed, or coherent that we can be a reflection of it.

Indeed, group definition is an ongoing process in which its members struggle with one another to find a suitable place for themselves within a structure of rules whose power depends on their interpretive activity. If by “make” you understand enable or constrain, therefore, our society indeed, make us. But if by “make” you mean determine, then our society does not make us what we are. It means that in the process of socialization we are not passive entities upon which social imperatives and rules are impressed as if we are a wax tablet.

“All the world is not simply a stage.

And all the men and women are not merely players!”

 

REFERENCES

Dahrendorf, Ralf, 1978, “Homo Sociologicus, On the History, Significance, and Limits of the Category of Social Role”, in Essays in the Theory of Society, Stanford: Stanford University Press.

Descartes, Rene, 1975, A Discourse on Method: Meditations on the First Philosophy, Principles of Philosophy, translated by John Veitch, New York: Everyman’s Library.

Fay, Brian, 1998, Contemporary Philosophy of Social Science, Oxford: Blackwell Publishers Ltd.

Goffman, Erving, 1959, The Presentation of Self in Everyday Life, New York: A Doubleday Anchor Books.

Hampshire, Stuart, 1957, The Age of Reasons: The 17th Century Philosophers, New York: A Mentor Book.

Marx, Karl, 1963, “Economic and Philosophical Manuscript”, in Karl Marx, Early Writings, translated and edited by T. B. Bottomore, New York: McGraw-Hill Book Company.

Merton, Robert K., 1976, “Social Knowledge and Public Policy”, in Sociological Ambivalence and Other Essays, New York: The Free Press.

Sephard, Jon M., 1987, Sociology, A Complete Teaching Package, New York: West Publishing Company.

Shakespeare, W., 1954, “As You Like It”, in Thomas M. Parrot, ed., Shakespeare, Twenty-Three Plays and the Sonnets, Wisconsin: The United States Armed Forces Institute.

Shakespeare, W., 1954, “The Tragedy of Hamlet, Prince of Denmark”, in Thomas M. Parrot, ed., Shakespeare, Twenty-Three Plays and the Sonnets, Wisconsin: The United States Armed Forces Institute.

Zanden, James W. Vander, 1990, Sociology: The Core, New York: McGraw-Hill Publishing Company.

 


1. Sakban Rosidi is a lecturer of History of Modern Thought and Research Methodology, College of Foreign Languages Malang. He is currently a post-graduate student in Social Sciences, Airlangga University.

MEMBELA JAM BELAJAR MASYARAKAT

•Agustus 9, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar

MEMBELA JAM BELAJAR MASYARAKAT1

Oleh Sakban Rosidi2

Pemberlakuan Jam Belajar Masyarakat (JBM), dengan pesan mematikan TV antara jam 18.00 – 20.00 agar tercipta iklim belajar yang kondusif bagi anak-anak, mendapat tanggapan dua pakar komunikasi.

Redi Panuju, “Matikan TV, Prestasi Belajar?” (Surabaya Post, 4/4), dan Eduard Depari, “Siaran TV dan Jam Belajar Masyarakat” (Surabaya Post,7/4).

Menurut Redi Panuju, kesimpulan atas penelitian, mematikan acara TV dapat meningkatkan prestasi belajar siswa agaknya masih perlu dicermati lagi.

Senada dengan itu, Eduard Depari menyoal, apakah persoalan kualitas pendidikan selesai segera setelah kita menghentikan siaran TV selama dua jam? Tampaknya masalahnya tidak sesederhana itu.

Kentara sekali, mereka tak hanya meragukan keberhasilan JBM, tetapi juga risau bila kebijakan itu “menular” ke daerah-daerah lain. Kerisauan itu telah terbukti, segera setelah DI Yogyakarta, kebijakan itu diadopsi oleh Jawa Timur.

Tak Sederhana

Keraguan terhadap keberhasilan mengurangi jam menonton TV bisa meningkatkan prestasi belajar, memang bukan monopoli para pakar dan praktisi komunikasi.

Penandanya, tak kurang dari jurnal Educational Researcher (21, 3, April 1992) memuat artikel Mary McCaslin dan Thomas Good yang sebagiannya bernada mirip.

Dalam Compliant Cognition: The Misalliance of Management and Instructional Goals in Current School Reform itu, McCaslin dan Good mengemukakan, issu dampak menonton televisi terhadap prestasi belajar sama sekali bukan soal sederhana.

Adabukti bahwa bahwa kaum muda Jepang menonton TV sebanyak kaum muda Amerika. Karena kinerja kaum muda Jepang lebih tinggi ketimbang kaum muda Amerika, maka tak beralasan bila banyaknya menonton TV dituding sebagai penyebab rendahnya prestasi belajar.

Karena itu mereka menulis, “Clearly, the answer to America’s educational problems does not lie in simply extending school boundaries into the home nor can it be reduced to the simple equation: more homework + less television = school progress“.

Bila disimak, ada dua alasan utama penolakan JBM. Pertama, pemahaman tentang begitu banyaknya variabel yang mempengaruhi prestasi belajar. Masukan piranti (instrumental input) sistem pendidikan diyakini sebagai yang paling deterministik. Karena itu, intervensi terhadap masukan lingkungan (environmental input) — seperti pembelakuan JBM — dinilai tak cukup kuat untuk meningkatkan prestasi belajar.

Kedua, keyakinan akan dampak positif yang mungkin diperoleh dari menonton TV. Seperti diungkap Krzysztof Przeclawski (1982), fungsi informatif TV terbukti memperluas cakrawala intelektual pemirsanya, dan mendukung proses integrasi budaya dunia.

Fungsi pembelajaran TV juga terbukti membantu beberapa tugas didaktik lembaga pendidikan. Misalnya, penguasaan baca-tulis, bahasa nasional dan sedikit bahasa asing, pengembangan kebutuhan untuk saling berbagi dengan orang lain (need for sharing with others), pengendalian-diri (self control), penurunan rasa takut dan keterasingan (fear and anxiety), serta penurunan rasa kesepian (sense of loneliness).

Sayang , belum ada kajian mendalam tentang dampak menonton TV terhadap sikap dan pemikiran kritis para pemirsanya. Sangat boleh jadi, masalah ini berkaitan dengan gejala tayangan TV kita yang memang kurang menghargai isi otak para pemirsanya. Dengan isi tayangan seperti sekarang, tampak berlebihan bila Eduard Depari menyamakan pemberlakuan JBM dengan ketidak-pedulian pada penghasilan sikap kritis.

Belajar dari tesis mazhab Frankfurt, sekarang memang abad budaya massa yang menurut Marquse (1964), membuat masyarakat kelas pekerja dan menengah mencapai tingkat kemakmuran relatif sama, dan menjadikan hiburan sebagai majikan mereka (entertainment as their bosses).

Celakanya, budaya massa cenderung mengacu pada kebutuhan yang keliru atau termanipulasi (false or manipulated needs). Dampaknya, khalayak budaya massa mengalami proses dehistorisasi menjadi mayoritas massa pasif.

Dalam rangka pemenuhan kebutuhan semu dan ketundukan pada sang majikan itulah, massa pasif secara sukarela menjadwal-ulang daur hidup keseharian mereka.

Tak pelak lagi, ungkapan Marshall McLuhan “The medium is the message” sangat relevan untuk dipahami. Artinya, keperkasaan pengaruh media tak sekedar dalam kandungan pesannya. Terbukti, kehadiran TV membuat banyak orang menjadwal-ulang (rescheduling), menghapus sebagian kegiatan keseharian mereka, dan mengisolasikan mereka dari masalah atau kegiatan yang mungkin lebih penting.

Gejala penjadwalan-ulang ini pun menarik kalangan pendidikan. Berapa jamkah waktu yang dihabiskan oleh anak-anak dan remaja sekarang untuk menonton TV?

Abad ini memang ditandai oleh perubahan besar pada bobot peran kependidikan keluarga, masyarakat, pranata agama, dan dunia kerja. Kecuali sekolah, semua pranata itu mengalami penurunan peran.

Mengapa? “The time lost in these kinds of experiences has largely been taken up by TV”. Demikian tulis Ralph Tyler (What Have We Learned About Learning?, 1979).

Ditambahkannya, “… the average American child between the ages of 10 and 14 spends about 1,500 hours per year viewing TV and only about 1,100 hours per year in school”.

Apakah jumlah jam menonton TV mempengaruhi prestasi belajar? Marland (Declining Scores: Implications for Education and Evaluation, 1976) menjawab: berdampingan dengan lingkungan belajar yang tercemar (polluted), alkoholisme dan penyalah-gunaan obat, TV ikut bertanggung jawab terhadap penurunan prestasi belajar peserta didik

Tak hanya itu, meta analisis dari penelitian di berbagai negara juga telah dilakukan. Ditemukan, rata-rata anak sekarang, menonton TV selama 29 jam per minggu. Banyaknya waktu yang digunakan untuk menonton televisi berpengaruh kecil terhadap prestasi. Hingga 10 jam per minggu untuk menonton televisi, dapat meningkatkan prestasi sedikit saja. Namun, kalau melebihi 10 jam per minggu, suatu pengaruh yang merusak sangat terbukti (Fraser et al, Indentifying the Salient of a Model of Student Learning: A Synthesis of Meta-Analysis, 1987).

Tampaknya, jalur-jalur pengaruh banyaknya menonton TV dengan prestasi belajar memang belum terungkap secara cermat dan teruji. Yang pasti,gayabelajar, jam biologis, dan budaya belajar kita sudah mengisyaratkan, jam 18.00-20.00 merupakan waktu yang tepat untuk belajar. Pemberlakuan JBM akan membantu peserta didik untuk memanfaatkan waktu terbaiknya untuk belajar.

Akhirnya, harus disadari bersama, persoalan besar yang dihadapi oleh peserta didik kita adalah memilih prioritas kegiatan.

Untuk itu, suatu proteksi yang menjamin penciptaan iklim yang kondusif, seperti pemberlakuan JBM, harus ditempuh.

Sangat naif bila kebebasan untuk switch on/off diserahkan begitu saja kepada anak-anak yang belum dewasa.

—————

1. Dimuat di Surabaya Post, Senin 15 April 1996, halaman 6.

2. Penulis adalah pemerhati pendidikan dan kebudayaan, tinggal diMalang.

SERBA SEDIKIT TENTANG KISAH INSPIRATIF

•Agustus 6, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar

SERBA SEDIKIT TENTANG KISAH INSPIRATIF

[dan novel sejarah]

Sakban Rosidi Saminoe

Lazim kita menyepadankan “inspiration” dengan “ilham”. Memang pada mulanya terhayati sebagai semacam bisikan dari Tuhan, yang kalau penerimanya seorang nabi dan memiliki cakupan lebih lengkap disebut “wahyu”. Tetapi seperti kebanyakan istilah yang mengalami perubahan makna, sehingga menjadi “a sudden feeling of enthusiasm, or a new idea that helps you to do or create something” [rasa antusias yang serta-merta, atau suatu gagasan baru yang membantu seseorang untuk melakukan atau menciptakan sesuatu].

Jadi apakah sebuah narasi bisa dikategorikan inspiratif atau tidak, ditentukan oleh: (1)  perannya dalam memberi gagasan baru yang membantu khalayak pembaca atau pendengar untuk melakukan atau menciptakan sesuatu, (2) asal-usul narasinya yang benar-benar didasarkan pada kejadian nyata, yang karena itu harus bisa ditelusuri secara empirik dan diterima akal secara logik, dan (3) cara dan gaya pelajaran bernilai dalam kisah tersebut dihadirkan secara menarik (valuable and attactive).

Ketiga kaidah kisah inspiratif ini semestinya juga berlaku pada segala bentuk karya seni yang dimaksudkan sebagai wakilan atas kenyataan (representation of reality), termasuk di dalamnya roman atau novel sejarah. Perbedaannya, pada novel sejarah alurnya tetap mengacu pada kejadian sebenarnya — baca sejarah sebagai rangkaian kejadian penting di masa lalu [a chain of critical events in the past] — dengan gaya tuturan cerita bertokoh, latar belakang sosial dan budaya sesaat setempat, menyertakan ketegangan dalam diri tokoh dan pertikaian antara tokoh dengan tokoh lain, serta tentu saja memberikan pengalaman nikmat indah bagi pembaca dan menyiratkan pelajaran penting bagi khalayak pembaca.

Dengan penakar butir pertama (1), tak ada keraguan sama sekali kisah “Kisah Sedekah yang Menyentuh Hati” tulisan Alaydrus  di kelompok Taman Sastra memang berpotensi kuar memberi gagasan baru yang membantu khalayak pembaca atau pendengar untuk melakukan suatu kebaikan.

Dengan penakar butir kedua (2), saya merasakan kejanggalan ada matakuliah sosiologi dengan tugas seperti itu. Saya belajar Pendidikan Sosial jenjang Sarjana, Sosiologi Industri jenjang Magister, dan Ilmu-ilmu sosial dengan konsentrasi Sosiologi Politik jenjang Doktor. Apakah saya meragukan kebenaran kisah ini? Tidak, sama sekali tidak. Tetapi hanya kurang masuk akal, lebih-lebih bila tidak disertai dengan nama perguruan tinggi, jenjang pendidikan, program studi, nama matakuliah, dan mungkin dosen yang mengajar. Dengan mengawali kisah secara lebih realistik, mungkin saya bisa menerimanya. Misalnya kalau itu jenjang Diploma atau Undergraduate ilmu-ilmu terapan, saya bisa menerimanya, karena tidak penyajian matakuliah tidak dimaksudkan untuk menjadikan mahasiswanya seorang ahli sosiologi.

Dengan penakar butir ketiga (3), saya hanya menyarankan untuk ditulis ulang secara berimbang. Ketika saya mulai membaca, tuturan berjalan lancar. Tetapi setelah sepertiga bagian, saya mulai tidak sabar dan meloncat ke bagian berikutnya. Ini berarti ada bagian yang kelewat bertele-tele. Juga, yang agak mengganggu saya adalah munculnya semacam “pengakuan” akan kebaikan yang terlalu tersurat. Memang tidak salah, tetapi kencenderungan menghadirkan ganjaran seketika (instant reward), apalagi secara eksternal, seperti dari suami, berdampak kurang baik bagi pembaca. Mestinya bisa lebih disiasati dengan lebih mengedepankan “kepuasan batin” diri pelaku, karena memang kebaikan tak butuh alasan. Dengan ungkapan lain, justru kejahatan yang membutuhkan alasan. Pada kesempatan baik ini pula saya ingin berbagi sedikit ungkapan terkait tindak senyum dan tawa, yang menurut saya penting kita hayati.

“A nice smile is almost inspired by another one” [Sebuah senyum manis hampir selalu diilhami oleh senyum manis yan lain].

 “Smile, the world will smile with you [Tersenyumlah, dunia akan tersenyum bersamamu].

Laugh, the world will laugh with you [Tertawalah, dunia akan tertawa bersamamu].

Cry, the world will laugh to you” [Menangislah, dunia akan mentertawakanmu].

Akhirnya, sebagai pembina perkulaiahan Psikologi Sosial, saya sering menegaskan bahwa perilaku tersenyum dan tertawa telah dikenal sebagai wujud tindakan sosial, karena setiap senyum atau tawa, niscaya mengandaikan kehadiran orang lain. Kalau kurang percaya, cobalah senyum-senyum atau tertawa ngakak sendirian.

 

 

Penelitian Bahasa dan Kajian Sastra, State of the Art

•Juni 30, 2011 • 2 Komentar

Penelitian Bahasa dan Kajian Sastra, State of the Art


Judul Buku : The Intersection of Form and Mind on Language and Literature
Penyunting : Zainul Mujahid, Mulyoso, dan Sakban Rosidi
Penerbit : LPSDM Serva Minora dan STIBA Malang Sarasvati Press
Tahun Terbit : 2010
Tebal : i-viii + 432 halaman
Harga : Rp. 70.000,00 (tidak termasuk ongkos kirim)

Acapkali para pembina matakuliah filsafat ilmu dan metodologi penelitian dan pembimbing skripsi atau tesis di lingkungan program studi, fakultas dan atau perguruan tinggi bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra asing, menghadapi kesulitan ketika mendapatkan pertanyaan tentang rujukan yang memadai bagi para mahasiswanya.

Kini, walaupun sudah pasti tidak tuntas memenuhi kebutuhan para mahasiswa dan para dosen, setidaknya sudah bisa diperoleh sebuah buku yang dari segi isinya benar-benar khas untuk mahasiswa bahasa dan sastra. Berkenaan dengan bahasa yang digunakan oleh penulis, sebanyak 11 (sebelas) tulisan disajikan dalam Bahasa Indonesia, selebihnya disajikan dalam Bahasa Inggris.

Buku cukup tebal, untuk ukuran Indonesia ini, ditata ke dalam tiga bagian, yaitu: Pendahuluan, Penelitian Bahasa, dan Kajian Sastra. Satu artikel panjang sebagai pendahuluan menelaah aspek-aspek ontologik, aksiologik, dan epistemologik penelitian bahasa dan sastra. Menampak jelas betapa, selain memiliki batas-batas yang jelas, penelitian bahasa dan kajian sastra memiliki wilayah sangat luas, yang sebagiannya masih merupakan “tera incognita”. Berikutnya, sebanyak 9 (sembilan) artikel penelitian bahasa disajikan secara jernih dan mencakup hampir seluruh cabang kajian linguistik. Sisanya, sebanyak 13 (tiga belas) artikel tentang kajian sastra, baik yang merupakan panduan kajian sastra maupun laporan kajian sastra, juga dari berbagai cabang karya sastra serta penghampiran teoretik.

Apa yang membuat buku ini istimewa, selain menyajikan laporan ringkas penelitian bahasa dan kajian sastra, ternyata wilayah kajian bahasa yang ditawarkan juga terkesan “menghindar” dari kecenderungan umum selama ini yang terjerat dalam linguistik sinkronik. Tentu bukan tanpa pertimbangan kalau penyunting memilih artikel-artikel yang berani menampilkan “wilayah lain” kajian bahasa dan sastra. Setidak-tidaknya, alasan yang paling masuk akal adalah karena sudah banyaknya tulisan dan buku yang membahas cabang-cabang linguistik sinkronik.

Akhirnya, sebagaimana ditulis oleh penyuntingnya, di masa depan diharapkan agar para pembaca dan para ahli bahasa dan sastra memberanikan diri menerapkan pendekatan multidisipliner untuk memahami gejala bahasa, sastra, dan mungkin saja budaya [sakban rosidi].

Penulisan Makalah Psikologi Olahraga Program Magister Pendidikan Olahraga

•Mei 30, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar

Penulisan Makalah Psikologi Olahraga Program Magister Pendidikan Olahraga  

Tugas  makalah Psikologi Olahraga,  Magister Pendidikan Jasmani dan Olahraga, Program Pasca Sarjana, IBUM Indonesia, ditulis dalam bentuk artikel jurnal, dengan susunan:

1. Judul (dengan catatan kaki: Makalah ditulis untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Psikologi Olahraga, Magister Pendidikan Jasmani dan Olahraga, Program Pasca Sarjana, IBUM Indonesia, yang dibina oleh Sakban Rosidi).

2. Nama Mahasiswa (dengan catatan kaki: nama mahasiswa, nomor induk, adalah mahasiswa Program Magister Pendidikan Jasmani dan Olahraga, Program Pasca Sarjana, IBUM Indonesia, angkatan….)

3. Abstrak (berupa ringkasan satu paragraf diketik satu spasi, bisa berbahasa Inggris atau berbahasa Indonesia)

4. Isi makalah diketik 1,5 spasi (mengikuti struktur sumber utama berupa satu artikel dari dari Handbook of Sport Psychology. Tidak dalam bentuk bab-bab pendahuluan, bab pembahasan dst…, melainkan langsung masuk bagian isi seperti pada sumber utama. Sub-bab mengikuti artikel sumber utama).

5. Setelah bagian kesimpulan, bisa ditambahkan sub-bab refleksi, yaitu pelajaran yang penulis petik dan perlu diberitahukan kepada pembaca setelah mengkaji keseluruhan isi makalah.

6. Daftar Rujukan (bila di dalam makalah ada petunjuk referensi berupa nama dan tahun penerbitan, serta halaman), maka penulis makalah wajib menuliskan sumber pustakanya, sebagaimana ada pada sumber utama)

7. Makalah dicetak (prin-out) di atas kertas A4, tidak perlu disampul. Karena akan dijadikan satu makalah-makalah dari semua peserta matakuliah.

8. Semua file (microsoftword 2003) diserahkan kepada Ketua Kelas yang akan menjadikan satu dalam satu CD atau Flashdisk. Semua mahasiswa harus memiliki seluruh file untuk persiapan dan bahan ujian akhir.

9. Ketua kelas berhak mengatur secara teknis keseluruhan tugas, dan bertanggungjawab  terhadap seluruh peserta matakuliah.

10. Berikut adalah contoh susunan makalah  (download).

SAKBAN ROSIDI, PEMBINAAN PROFESIONAL (Upaya Peningkatan Perofesional Guru)

Tautan Video Apresiasi Musik dan Sastra Sakban Rosidi Saminoe

•Mei 21, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar

4. Sakban Rosidi & Kelompok Simpangan, “Madah Suka Madah Duka”:

http://www.youtube.com/watch?v=096nTRpkJgs

5. Sakban Rosidi Membaca Sajak Sebatang Lisong

http://www.youtube.com/watch?v=AcKSbtO9eh4

6. Sakban Rosidi Membaca Sajak tentang Kebenaran

http://www.youtube.com/watch?v=TfoHR_8svI0

7. Kelompok Simpangan, Desa (Iwan Fals)

http://www.youtube.com/watch?v=1uIwSPkPNXU

8. Kelompok Simpangan, Ujung Aspal (Iwan Fals)

http://www.youtube.com/watch?v=Lkz6hJ3QKIA

Tautan Video Dialog Pro-Kontra Ujian Nasional [Kotak Suara, Dhamma TV]

•Mei 21, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar

Tautan Video Dialog Pro-Kontra Ujian Nasional [Kotak Suara, Dhamma TV] 

01 Mengapa Perlu Ujian Nasional.MP4

http://www.youtube.com/watch?v=3n86JfLEcNU

02 Kriteria Kelulusan Ujian Nasional Rendah.MP4

http://www.youtube.com/watch?v=I3ZkIqBYJQE

03 Negara dan Standar Minimum Pendidikan.MP4

http://www.youtube.com/watch?v=qt7g0FmZGRM

04 Tiga Kesiapan Ujian Nasional.MP4

http://www.youtube.com/watch?v=ZIN0yJNwaXw

05 Kecurangan dalam Ujian Nasional.MP4

http://www.youtube.com/watch?v=osOd5hOdN0Q

06 Desakralisasi Ujian Nasional.MP4

http://www.youtube.com/watch?v=7OcoLu-VHk4


Tautan Video Kuliah Sakban Rosidi Saminoe

•Mei 19, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar

Tautan Video Kuliah Sakban Rosidi Saminoe

Kuliah Sosiologi dan Antropologi Pendidikan

1. Sakban Rosidi, Pengantar Kebudayaan Populer (Introduction to Popular Culture):

http://www.youtube.com/watch?v=gulZRrZ4EB8

2. Sakban Rosidi, Produksi dan Representasi Budaya (Cultural Production and Representation):

http://www.youtube.com/watch?v=lpWWb76DG20

3. Dampak Kebudayaan Populer (The Impact of Popular Culture)

http://www.youtube.com/watch?v=ZKgvrwBYkIU

4. Perkembangan Kepribadian 1

http://www.youtube.com/watch?v=G3797YGXtuE

5. Perkembangan Kepribadian 2

http://www.youtube.com/watch?v=rCQbdUJ5_Mk

5. Perkembangan Kepribadian 3

http://www.youtube.com/watch?v=c4dvVhW9HuA

MENGUJI REKOMENDASI KONASPI III

•Desember 13, 2010 • Tinggalkan sebuah Komentar

MENGUJI REKOMENDASI KONASPI III[1]

Oleh Sakban Rosidi[2]

 

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (Konaspi) III (4-7 Maret 1996) telah selesai digelar. Salah satu dari 17 butir deklarasinya, merekomendasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 5 persen dari Pendapatan Kotor Domestik (GDP). Meningkat 1,5 persen dari anggaran pendidikan sekarang.

Dari pemikiran yang berkembang, rekomendasi itu diletakkan dalam konteks persaingan antar-bangsa yang makin ketat. Dalam bahasa Prof Dr Fakry Gaffar, agar kita tidak di-bypass terus-menerus oleh tetangga-tetangga kita” (Kompas, 8/3 1996).

Tanpa mengelak dari hajat luhur yang mendasarinya, perspektif manajemen pendidikan, bisa mengajukan pertanyaan penting. Paling tidak, adakah bukti empiris peningkatan persentase anggaran dari GDP berkontribusi secara signifikan terhadap mutu keluaran sistem pendidikan nasional?

Ada dua alasan mendasari pertanyaan itu. Pertama, meski mudah dinalar, harus diakui bahwa pengaruh persentase anggaran dengan mutu keluaran pendidikan tak berbentuk garis lurus. Artinya, ada banyak faktor lain, yang dampak sinergetiknya tak bisa diabaikan.

Meta-riset Bruce Fuller (World Bank, 1987), misalnya, menemukan hubungan pembiayaan sekolah dengan prestasi belajar kurang meyakinkan. Dari 16 penelitian di 10 negara, separonya (8) saja yang menunjukkan hubungan positif.

Penelitian paling cermat dilakukan oleh Thias dan Carnoy (1973) di Kenya. Ditemukan bahwa setiap peningkatan 5 persen rata-rata biji EBTANAS menuntut peningkatan biaya 50% per peserta didik.

Kedua, pernah diisukan sejumlah rupiah dalam RAPBN itu sebagiannya masih berupa angka. Tak heran bila para petinggi di Depdikbud harus rajin mengikuti dan bernegosiasi dalam berbagai “donor meeting“.

Kendati pertumbuhan ekonomi Indonesia ditaksir berkisar 7-8 persen, padahal dengan persentase sekarang saja (3,4%), beban pemerintah sudah cukup berat dan harus ekstra hati-hati.

Tak Linier

Kadar kontribusi persentase anggaran pendidikan dari GDP suatu negara hanya bisa diungkap melalui studi perbandingan antar-negara.

Sayangnya, studi makro komparatif demikian sangat jarang dilakukan. Dalam konteks inilah, hasil penelitian Shamsul Huq (Eduation, Manpower, and Development in South and Southeast Asia, 1975), anggota International Committee of Experts UNESCO, penting untuk disimak-renungkan.

Menurutnya, penetapan anggaran pendidikan sebagai suatu persentase dari GNP, biasanya 4-7 persen, memang sangat sering ditekankan dalam kepustakaan perencanaan pendidikan. Ini dimaksudkan sebagai perangsang agar investasi yang lebih besar diberikan pada pendidikan.

Namun, ia juga mengingatkan, “It does not, however, seem to have a rational basis as a guide to the financial input necessary to produce the output desired from an educational system. The current level of expenditure as a ratio of the GNP in the more developed countries can be quite misleading“.

Bila dicermati, ada tiga simpul dasar peringatan Shamsul Huq itu. Pertama, betapapun penting, suatu persentase tak mencerminkan jumlah anggaran sebenarnya. Artinya, 5 persen dari GDP Indonesia tak sama dengan 5 persen dari GDP Jepang. Jadi, persoalannya bukan lagi persentasenya, melainkan jumlah anggaran sebenarnya.

Di sinilah perlunya kita mempelajari sejarah dan dinamika pembangunan pendidikan negara-negara lain. Penerapan tolok-ukur persentase harus mempertimbangkan angka real GDP suatu negara yang sepadan dengan tingkat perkembangan kita sekarang.

Bila daya-saing antar-bangsa SDM kita masih rendah, persentase yang lebih tinggi harus ditetapkan sebagai keputusan dan komitmen strategis pembangunan nasional.

Kedua, khalayak sasaran nyata investasi sektor pendidikan adalah sejumlah peserta didik (enrollment). Karena itu, tolok-ukur yang cermat bukan lagi anggaran publik untuk pendidikan sebagai persentase pendapatan nasional (Public expenditure on education as percentage of National Income), melainkan rasio persentase peserta didik dengan persentase anggaran (Ratio of percentage enrolled to percentage of expenditure). Belakangan, rasio ini disebut satuan biaya (unit cost) pendidikan.

Di sinilah tolok ukur suatu persentase dari GNP menjadi sangat bias. Apakah artinya peningkatan 1,5 persen bila target sasaran yang dilayani meningkat lebih dari 10 persen? Dalam ungkapan Shamsul Huq, harus dicermati apakah “…enrollment was raising faster than expenditure“?

Anggaran pendidikan harus dikelola secara lentur agar selaras dengan fluktuasi erollment yang menjadi sasaran. Bila angka partisipasi di semua jenjang pendidikan mengalami ledakan, biaya satuan per peserta didik makin mengecil.

Dengan tolok ukur biaya satuan, bisa diungkap kesenjangan antarjenjang pendidikan. Kondisi sekarang, biaya satuan peserta didik per tahun adalah Rp. 45.856,86 untuk SD; Rp 49.049,73 untuk SLTP dan SLTA; dan Rp. 240.714,58 untuk PT. Angka-angka ini mencerminkan kesenjangan anggaran antar jenjang.

Ketiga, tajuk anggaran pendidikan dan kebudayaan mewadahi berbagai sub-sektor. Kalaupun peningkatan persentase anggaran pendidikan dan kebudayaan meningkat, dampak positifnya terhadap keluaran sistem pendidikan nasional masih perlu diuji.

Dalam RAPBN Repelita VI dan Nota Keuangan RI, anggaran sektor pendidikan dan kebudayaan terdistribusi ke dalam 13 sub-sektor. Tak pelak lagi, persoalan bergeser menjadi bagaimana sejumlah anggaran itu dikelola dan didistribusikan ke dalam sejumlah sub-sektor pendidikan dan kebudayaan agar kesenjangan antar sub-sektor tidak terjadi.

Ini harus diperhatikan karena, Shamsul Huq menemukan bahwa, “This imbalance reduces the productivity of the invesments in the sector as a whole“.

Lagi pula, banyak kajian membuktikan, riwayat belajar peserta didik berpengaruh besar terhadap kinerja selanjutnya. Bloom (1976) menemukan korelasi yang konsisten, sekitar 0,77 antara prestasi jenjang sebelumnya dengan jenjang berikutnya. Karenanya, prioritas harus diberikan pada pendidikan dasar. [Tak heran bila Jepang pernah menggunakan 84,3 persen dari total anggaran pendidikannya untuk pendidikan dasar. Pada paruh awal abad ke 20, persentase ini turun menjadi 61,9 persen. Belajar dari kasus ini, tampak bahwa Jepang tak ingin, meminjam ungkapan ZA Achmadi, Dirjen Dikdasmen, SD-nya menjadi sekedar (S)andal (D)jepit. Penting tetapi tak dihargai secara wajar.]

Harus dicatat, penerapan setiap konsep ekonomi dalam pendidikan harus dilakukan secara hati-hati. Selain ada ketidak-sepadanan antara masukan dengan keluaran (uang versus rerata prestasi), hubungan anggaran pendidikan dengan mutu keluarannya masih diperantarai oleh faktor lain. Paling tidak, faktor managerial berupa alokasi dan distribusi menurut jenjang dan sub-sektor pendidikan.

Produktivitas sistem pendidikan tidak benar-benar bisa diukur dalam batasan untung-rugi ekonomi. Bila pemikiran ekonomi dipaksakan pula, ada logika yang janggal. Karena, akan lebih baik investasi kecil dengan hasil kecil, ketimbang investasi besar dengan hasil tak pasti.

Dalam tilikan inilah rekomendasi itu lebih berbobot politis ketimbang managerial pendidikan.

 


[1] Artikel analitik popular, dimuat di Harian Surabaya Post, 20 Maret 1996, halaman 6.

[2] Penulis adalah pemerhati masalah pendidikan dan kebudayaan, tinggal di Malang.